Beranda | Artikel
Tipu Daya Iblis Untuk Meninggalkan Harta Benda
Selasa, 13 September 2022

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Tipu Daya Iblis Untuk Meninggalkan Harta Benda ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 15 Safar 1444 H / 12 September 2022 M.

Kajian Islam Tentang Tipu Daya Iblis Untuk Meninggalkan Harta Benda

Pada kesempatan ini kita akan bicarakan talbis iblis terhadap kaum sufi terkait sikap meninggalkan harta benda.

Tentunya kita hidup di dunia dan memerlukan dunia itu untuk keberlangsungan hidup kita. Kita tidak bisa lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi karena masih hidup di dunia. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkata:

أنتم أعلم بأمور دنياكم

“Kamu lebih tahu urusan dunia kamu.” (HR. Muslim)

Untuk urusan ini Nabi serahkan kepada kita semua untuk melihat mana yang maslahat untuk urusan dunia kita. Dan Nabi juga berkata:

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya jasmanimu juga punya hak untuk dipenuhi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan Nabi juga pernah berkata:

حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ : النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ

“Aku dibuat suka terhadap urusan dunia kamu dua hal; yaitu wanita dan parfum.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim, Al-Baihaqi)

Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi juga memperhatikan kebutuhan duniawi. Sebatas yang dapat menegakkan tulang punggung dan melanjutkan hidup. Tidak menunjukkan ketamakan, tapi tidak juga meninggalkannya sama sekali.

Tentunya sebaik-baiknya urusan adalah yang tengah. Kita tidak mengabaikan dunia sehingga akan memudharatkan diri. Juga tidak menunjukkan ketamakan dan kerakusan terhadap dunia yang membuat kita binasa.

Iblis melancarkan talbisnya kepada kaum sufi ini mulai dari generasi pertamanya sampai generasi-generasi selanjutnya. Pada awalnya mereka menunjukkan ketulusan menjalani kehidupan dengan zuhud. Yaitu dengan cara memperlihatkan aib harta/dunia dan menakut-nakuti terhadap keburukannya. Walhasil mereka meninggalkan seluruh harta benda dan lebih memilih hidup dalam kondisi fakir.

Kondisi fakir adalah kondisi yang Nabi berlindung darinya. Bahkan itu termasuk salah satu doa pagi dan petang yang kita baca:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.” (Lihat dzikir pagi petang)

Kondisi fakir adalah kondisi melarat dimana seseorang terpaksa meminta-minta dan hina. Maka dari itu kita berusaha untuk keluar dari kondisi fakir agar tidak terhina hidupnya dengan berhutang dan meminta-minta. Tentunya itu semua tidaklah dibenarkan di dalam Islam.

Seorang hamba berusaha untuk tidak terlepas dari kefakiran itu dengan berdoa memohon kepada Allah supaya tidak jatuh dalam kefakiran. Kita juga dituntut untuk bekerja mencari nafkah supaya terhindar dari kondisi fakir. Tapi orang-orang ini mereka ini justru memilih hidup fakir. Tentu ini kebalikan dari doa Nabi.

Ada kekeliruan di sini antara miskin dan fakir. Benar ada hadits yang mana Nabi memohon kepada Allah agar dihidupkan miskin, diwafatkan juga dalam kondisi miskin, dan dikumpulkan bersama yang orang-orang misakin pada hari kiamat. Ini adalah salah satu doa shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اللَّهُمَّ أَحْيِني مِسْكِينًا ، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا ، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Ya Allah hidupkan aku miskin, wafatkan aku dalam kondisi miskin juga, dan kumpulkan aku bersama orang-orang miskin pada hari kiamat.”

Ini kemiskinan yang diminta oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak perlu juga dihindari, berbeda dengan kefakiran.

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (tidak lebih tidak kurang). Adapun fakir adalah orang yang kekurangan dan tidak mempunyai apa-apa untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehingga harus meminta, berhutang dan mengharapkan orang lain.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memohon supaya dihidupkan dalam kondisi miskin. Yaitu dimana seorang hamba bisa menjalani hidupnya dengan cukup; cukup kebutuhannya, cukup keperluannya, dapat menegakkan tulang punggungnya, cukup makannya, cukup tempat tinggalnya.

Kaum sufi memilih hidup dalam kondisi fakir (bukan miskin) hingga terpaksa hidup dari belas kasih orang lain. Ini adalah kondisi yang membuat orang itu hina. Maksud hati memang baik, namun tindakan seperti itu keliru.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/52122-tipu-daya-iblis-untuk-meninggalkan-harta-benda/